Oleh:
Muh. Haeril
Setiap
tanggal 17 Agustus, seluruh pelosok negeri ini berubah menjadi lautan merah
putih. Di sekolah-sekolah, kantor, dan kampung-kampung, lagu perjuangan
menggema, tawa anak-anak meriah dalam lomba-lomba rakyat, dan upacara bendera
dilaksanakan dengan penuh khidmat. Semua itu adalah bentuk penghormatan
terhadap hari yang menjadi tonggak berdirinya bangsa ini: Hari Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945.
Namun, jika kita menengok sejarah,
kemerdekaan bukanlah sekadar angka dalam kalender atau momen seremonial
tahunan. Ia adalah hasil dari perjuangan panjang yang melibatkan keberanian,
pengorbanan jiwa, bahkan air mata. Para pahlawan bangsa bukan hanya melawan
penjajah di medan perang, tetapi juga mengorbankan kenyamanan, keluarga, dan
masa depan demi satu tujuan: agar bangsa ini bebas menentukan nasibnya sendiri.
Kini, lebih dari delapan dekade
setelah proklamasi dikumandangkan, kita patut merenung: Apakah kemerdekaan yang
kita warisi itu telah kita jaga dan wujudkan sepenuhnya?
Memang, kita tidak lagi dijajah
secara fisik oleh bangsa asing. Namun, tantangan hari ini datang dalam bentuk
yang lebih halus dan bahkan terkadang nyaris tak terasa. Globalisasi dan
kemajuan teknologi membawa manfaat luar biasa, tetapi juga menciptakan bentuk
“penjajahan” baru: ketergantungan ekonomi, penetrasi budaya asing yang mengikis
identitas, dan dominasi korporasi global yang bisa memengaruhi kebijakan dalam
negeri.
Kemerdekaan sejati, jika dimaknai
secara utuh, mencakup tiga pilar penting: kedaulatan politik, kemandirian
ekonomi, dan kematangan moral bangsa.
Pertama kedaulatan politik menuntut
agar keputusan strategis negara lahir dari kehendak rakyat, bebas dari
intervensi pihak luar atau kepentingan segelintir elite yang mengabaikan
kepentingan umum.
Kedua kemandirian ekonomi berarti
bangsa ini harus mampu memproduksi, mengelola, dan memanfaatkan sumber daya
sendiri, bukan hanya menjadi pasar yang menguntungkan bagi produk luar negeri.
Ketiga kematangan moral bangsa
mencerminkan perilaku warga negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur,
menghargai perbedaan, menjaga persatuan, serta menolak segala bentuk korupsi,
diskriminasi, dan ketidakadilan.
Ironisnya, di tengah semangat
kemerdekaan yang dirayakan setiap tahun, sering kali kita lebih sibuk dengan
kemeriahan lahiriah ketimbang perenungan makna yang mendalam. Upacara bendera,
lomba rakyat, dan dekorasi memang penting untuk memupuk rasa nasionalisme,
tetapi tanpa kesadaran filosofis, perayaan itu bisa menjadi sekadar ritual
tahunan yang kehilangan ruhnya.
Kemerdekaan sejati seharusnya
menjadi ajakan untuk membebaskan diri dari segala bentuk ketertindasan, baik
yang bersumber dari luar negeri maupun yang kita ciptakan sendiri. Itu berarti
melawan korupsi yang menggerogoti pondasi negara, memperjuangkan pemerataan
pendidikan, menghapus kemiskinan struktural, menjaga kelestarian lingkungan,
serta memastikan bahwa hukum benar-benar tegak tanpa pandang bulu.
Kemerdekaan bukanlah hadiah yang
selesai diberikan pada 17 Agustus 1945. Ia adalah janji-janji yang diikrarkan
oleh para pendiri bangsa untuk mewujudkan Indonesia yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil, dan makmur. Janji itu kini menjadi tanggung jawab setiap
generasi. Kita tidak hanya diminta menjaga warisan ini, tetapi juga
memperbaikinya, menyempurnakannya, dan menyerahkannya kepada generasi mendatang
dalam kondisi yang lebih baik.
Maka, setiap kali kita berdiri
tegak di bawah kibaran Sang Saka Merah Putih, ada baiknya kita bertanya pada
diri sendiri: Apakah saya telah benar-benar merdeka dari kebodohan, kemalasan,
dan sikap apatis? Apakah saya sudah ikut berperan membebaskan saudara-saudara
sebangsa yang masih terbelenggu kemiskinan, ketidakadilan, atau keterbatasan
kesempatan?
Sebab, kemerdekaan yang sejati
bukan hanya diukur dari bendera yang berkibar tinggi di langit, tetapi dari
seberapa tegak dan mulia bangsa ini berdiri di hadapan dunia dan bangsa yang
tidak hanya merdeka secara fisik, tetapi juga merdeka dalam pikiran, hati,
dan tindakannya.
#Mujahid
#Opini

0 Komentar